Wednesday 20 April 2011

WILD HORSES

EPISODE 6 : WILD HORSES


Gymnasium ini sudah lama sekali tidak digunakan.... 



Sepuluh tahun yang lalu, ketika gulat masih menjadi trend di kota ini, tempat latihan ini biasanya ramai. Para pendekar gulat dari berbagai aliran sering berkumpul disini untuk berlatih tanding atau sekedar mengobrol. Tempat ini pernah cukup terkenal, dan menghasilkan banyak pegulat-pegulat baru yang berbakat.... Tapi, sebagaimana semua bangunan tua di bagian kota ini, pada akhirnya tempat ini hanya tinggal sejarah.

Tembok yang dulunya penuh piagam, medali dan foto, kini penuh dengan graffiti. Tertulis antara lain, "KERANG BIRU MOTORCYCLE COMMUNITY", "TIGER CLAN 0024", "=[ASN]= WAS HERE", "GO GO MOYOPOLIS FC", "ROY CINTA LUCY", dan lain-lain. Banyak peralatan olahraga yang sudah rusak maupun dicuri. Lantai-lantai retak. Semua jendela pecah. Di beberapa sudut kadang dipakai untuk tempat tidur gelandangan...


Joni Dropkick duduk di sisi ring gulat yang sudah reyot itu. Ia sedang menunggu seseorang....

Suara sepeda motor terdengar mendekat. Tidak mungkin salah, suara ini pasti berasal dari 2 buah knalpot mesin  2-silinder DOHC berkekuatan 87 tenaga kuda. Yang ditunggu Joni datang juga : sebuah BMW F800R memasuki gymnasium, melintas di atas lantai gym yang retak, dan akhirnya parkir di samping arena. Seseorang turun dari motor BMW tersebut....



"Kau terlambat, orang tua...", Joni bangkit dari posisi duduknya dan berjalan ke tengah ring.

Pria yang ditunggu Joni berpostur kekar, dengan jaket Puma berwarna hitam. Ia berusia sekitar 35-40, dengan beberapa bekas luka cukur di dagu. Ia naik ke ring, menghampiri Joni Dropkick, dan mereka saling beradu pandang, dengan nafsu membunuh terpancar dari kedua orang tersebut....

"Jammu yang terlalu cepat", jawab orang itu. Dan detik kemudian, ia melayangkan sebuah tinju kanan ke arah muka Joni....

Terlalu lamban, pikir Joni sambil menunduk menghindari pukulan tersebut. Kemudian Joni mendorong lawannya ke pinggir arena menggunakan bahunya, namun lawannya itu cukup kuat sehingga mampu menahan dorongan Joni. Sekali lagi lawannya menyerang joni menggunakan sikut. Joni menangkisnya, namun menyebabkan Joni mundur beberapa langkah.

Joni gantian menyerang dengan tendangan samping ke perut. Kena, tapi tidak menggoyahkan kuda-kuda lawannya. Joni segera menyambung serangannya dengan sebuah clothesline, tapi lawannya berhasil mengindar, kemudian menangkap badan Joni dan hendak membantingnya dengan gerakan Half Nelson Slam. Tapi Joni berhasil lepas karena lincah, dan seketika Joni langsung memanfaatkan momentum bantingan gagal tersebut menjadi sebuah tendangan putar ke arah muka. Lawannya terhuyung mundur sambil memegangi wajahnya yang terkena tendangan, namun tidak sampai jatuh. Alot juga orang ini, pikir Joni...

Mereka berdua saling bertukar serangan. Tinju, sikut, tendangan, bantingan, namun belum ada yang jatuh. Joni mulai terlihat lelah. Sulit sekali menjatuhkan lawannya. Beberapa jurus andalan Joni seperti Hurracanrana, Head Scissors Take-Down, dan Spinning Elbow, tidak ada yang mengenai lawannya dengan sempurna. Kali ini Joni Dropkick mencoba menolakkan kaki pada tiang sudut, lalu membalikkan badan dan melakukan Missile Dropkick dengan cepat. Tetapi, lawannya itu merupakan seseorang yang dijuluki "The Stronghold" ketika masih muda. Ia menahan seluruh kekuatan tendangan Joni dengan badannya, lalu menangkap kaki Joni dan melemparkan badan Joni ke samping....

Joni mencoba bangkit, namun ia sudah mulai sempoyongan. Pertempuran yang berlangsung cukup lama ini sudah menguras staminanya. Ditambah lagi dengan jurus yang terakhir itu. Habis sudah, jika lawannya akan mengeluarkan serangan penghabisan, maka ini saatnya...

Akan tetapi, serangan pamungkas itu tidak pernah datang. Joni melihat keadaan lawannya, dan ia juga sedang terduduk bersandar pada tali ring sambil ngos-ngosan. Staminanya juga sudah habis karena usia, dan jurus-jurus dari Joni baru terasa pada akhirnya... 

Joni berjalan menuju tas ranselnya yang ia letakkan di sisi arena, membukanya, mengambil dua botol Vitazone, dan melemparkan salah satunya pada lawannya. Lalu ia sendiri membuka botolnya dan meneguk isinya dengan buas...

"Hosh... hosh... hosh... Weleh... I'm getting old.... Dulu kayaknya tidak secapek ini..." Pria itu mencoba menstabilkan napasnya, sambil meminum pemberian Joni.

"Masa jayamu sudah berakhir, Seth Walther.... Tapi untuk orang tua, kau jago juga...", Joni membuang botol kosongnya ke tempat sampah, lalu kembali membuka tasnya dan mengambil minuman Fit Active.

"Kau sendiri hampir kalah, hayo ngaku....", Kini Seth sudah tidak terlalu terlihat lelah.

"Aku mengalah pada yang lebih tua...", Joni beralasan sambil tertawa kecil. "Okey, apa yang masih kurang dari gaya bertarungku?"

Seth menghabiskan minumannya, memegangi bahu dan pinggangnya yang terasa sakit karena terkena jurus-jurus Joni. Ia menjawab, "Kau pernah dengar mengenai tiga tingkatan dalam ilmu gulat?"

Joni menggeleng.

Seth meletakkan botolnya, dan mulai berbicara dengan gaya seperti seorang master kungfu, "Yang pertama ialah 'Tanpa Kekalahan', yaitu jika kau sudah benar-benar ahli dalam jurus-jurus gulat, sehingga kau bisa memenangkan semua pertarungan...", Seth menjelaskan dengan serius.

Joni mendengarkan. Minuman Fit Active-nya sudah habis setengah.

"Yang kedua ialah 'Tanpa Gulat', dimana pada tahap ini, kau menyadari bahwa gulat hanyalah sebuah cara, sebuah alat. Untuk mencapai kemenangan dalam pertarungan sesungguhnya, ada banyak cara selain gulat. Karate, judo, boxing, kravmaga, jiu-jitsu, bahkan penggunaan senjata. Jika kita hanya terpaku pada jurus-jurus gulat saja, kita tidak akan pernah berkembang..." Kata-kata Seth terdengar bijak, sebagai seorang veteran yang sudah banyak pengalaman. 

Minuman Joni sudah habis. Kini Joni membuka tasnya lagi dan mengeluarkan sebungkus Piattos rasa sapi panggang. 



"Tasmu itu kantong ajaib ya? Isinya makanan semua"

"Lebih tepatnya minimarket portabel. Lanjutkan. Apa tingkatan yang ketiga?", Joni mengunyah sambil mendengarkan.

"Nah, yang terakhir adalah 'Tanpa Pertarungan'. Pada tingkatan ini, kau akan menyadari bahwa kekerasan sebenarnya tidaklah berguna. Perkelahian bukan cara paling efektif untuk menyelesaikan masalah. Hidup damai adalah jalan terbaik. Hanya saja, untuk mencapai tingkatan ketiga ini, kau harus melalui kedua tingkatan sebelumnya, atau dengan kata lain, harus melalui pertarungan terlebih dahulu, baru kemudian bisa menyadari tentang prinsip kedamaian..."



Nasihat Seth yang terakhir membuat Joni mengerutkan kening. Tanpa kekalahan, tanpa gulat, tanpa pertarungan, Joni mengulangnya dalam hati. Tanpa kekalahan, tanpa gulat, tanpa pertarungan...

"Nah, sudah dulu omongan gulatnya, apa kabar Liga?", tanya Seth.

"Begitulah, kau juga pasti sudah dengar lebih banyak saat pemakaman Alfred kemarin.", jawab Joni. "By the way, apa kau jauh-jauh kemari cuma untuk datang ke pemakaman Alfred, atau bahwa kau ingin kembali bergabung dengan Liga?"

Seth menoleh ke jendela, dan menyadari bahwa hari sudah mulai gelap. "Tidak. Kemarin beberapa orang juga mengajak. Kota ini menyenangkan, tapi Sydney masih lebih nyaman. Aku akan kembali ke sana minggu depan." 

"Walaupun dengan kejadian-kejadian belakangan ini? Sebelum Alfred tewas, ia memberitahuku bahwa situasinya sedang gawat. Tertembaknya Alfred oleh seorang pembunuh profesional merupakan buktinya." Joni  berbicara sambil memegangi dagunya seperti orang yang sedang berpikir. "Ah, dan dia cukup hebat, kira-kira kemampuannya setara denganku."

Seth terlihat santai, namun nada omongannya serius. "Benar, situasi sedang begini. Tapi aku juga sudah selesai dengan Liga, namun bukan berarti aku akan lepas tangan. Aku masih bisa memberikan bantuan dari luar Liga. Justru sekarang giliran para generasi muda dari Liga untuk beraksi. Jangan selamanya tergantung pada si tua ini...."

Kata kata Seth ada benarnya. Liga tidak mungkin selamanya bergantung pada kepemimpinan Seth Walther.

Seth melanjutkan penjelasannya. "Sebagai orang yang lebih sering bertindak sendiri di luar Liga, kau lebih tahu hal ini daripada aku, Joni. Kita berdua pada dasarnya sama, kita adalah kuda-kuda liar. Kita tidak terlalu cocok berada dalam organisasi. Kau berlari sendirian, sedangkan aku, waktu itu tak ada pilihan lain untuk terpaksa bergabung...."




Joni Dropkick mendengarkan. Ia memikirkan lagi kata-kata Seth dalam kepalanya. Kita adalah kuda-kuda liar. Semua itu sepertinya memang benar. Liga sendiri pun bukan organisasi yang sempurna, malah bahkan ada desas-desus bahwa beberapa orang dalam di Liga merupakan pengkhianat....

"Sudah malam nih, bagaimana kalau kita cari minuman betulan, bukan jajanan minimarket seperti yang kau bawa-bawa itu?" Seth bangkit dan menuju motornya.

"Yeah, aku tahu tempat asik dekat sini." Joni ikut berdiri dan memakai jaketnya.

"Hmm satu lagi. Kalau nanti orang-orang dari Liga ada yang ingin menemuiku, bilang saja aku ada di tempat bowling yang biasa." Kata Seth

Mereka berdua pun hendak meninggalkan gedung gymnasium itu, ketika tiba-tiba ada pemuda lokal berpakaian preman yang menghampiri sambil meniup peluit. Rupanya ia hendak menagih uang parkir secara ilegal dari Joni dan Seth...




... ingin menagih uang parkir dari...




... Seth "Stronghold" Walther...      dan Jonathan "Joni" Dropkick...



*beberapa menit kemudian giliran sebuah mobil ambulans yang parkir di tempat itu, mengangkut seorang pemuda yang babak belur*




***********************

(sementara itu...)



Dominic Staunton merupakan keturunan keluarga petarung hebat turun-temurun. Kakeknya pernah menjadi juara Royal Rumble sebanyak tiga kali. Ayahnya ialah sabuk hitam karate dan kini menjadi pelatih di dojo setempat. Bahkan ibunya juga pernah bermain sebagai figuran dalam film action beladiri....

Tapi kini ia terancam mempermalukan nama baik keluarganya. Dominic terpojok. Musuhnya menghajarnya tanpa ampun. Kini ia sedang diinjak-injak, baik secara harga diri, maupun harafiah. Ia kembali berusaha berdiri, namun sebuah pukulan di punggung kembali menjatuhkannya...

Habis sudah, pikir Dominic. Instingnya mengatakan untuk jangan menyerah, tapi badannya punya pendapat lain. Tidak ada harapan lagi menurutnya...

Akhirnya, lawannya memutuskan bahwa sudah saatnya mengakhiri pertarungan. Captain Vulcan mengambil ancang-ancang untuk melakukan jurus pamungkasnya, Vulcan Punch. Tetapi siapa yang menyangka, Dominic berhasil menghindari pukulan maut tersebut di saat-saat terakhir, lalu berlari ke sisi ring, melompat dan menggunakan tali ring sebagai pijakan, dan disinilah Dominic "Doom" Staunton melakukan gerakan yang ditunggu semua orang, "The Doombringer". Ia melakukan salto ke belakang, dan menghantam musuhnya dengan gerakan clothesline dari posisi badan terbalik. Bersamaan dengan jatuhnya tubuh Captain Vulcan ke lantai arena, seluruh penonton dalam gedung bersorak girang.... 

Dominic Doom segera menindih badan Captain Vulcan, wasit menghitung sampai tiga, dan kini ada juara Intercontinental yang baru...






"Seru buanget !!! Ayo kapan-kapan nonton lagi !!!", kata Anna dengan bersemangat.

"Hehehe, iya kapan-kapan, kalau dapat tiket gratis lagi. Bagaimana kalau sekarang kita cari makan?" William Criville membimbing Anna keluar dari Kaizer's Palace tersebut. Rupanya Anna, si perawat yang ditemui William di rumah sakit, juga menyenangi gulat...

Mereka berdua pergi melaju dengan Aprillia Shiver 750 milik William, sampai akhirnya berhenti di Burnt Toast Diner...

"Pesan apa mas?", tanya Bill si pelayan.

"Nasi goreng kambing, dan kamu mau apa?", tanya William.

"Aku pesan roti bakar coklat keju saja.", jawab Anna.

Sambil menunggu pesanan datang, William melihat ada sebuah gitar akustik yang tidak digunakan diletakkan di panggung bar. Biasanya gitar itu digunakan untuk live music, tapi malam ini sedang tidak ada jadwalnya. William memutuskan untuk meminjam gitar itu sebentar. Bill memberinya izin.




Ia duduk di sebuah kursi di panggung yang pendek itu, menyetem gitarnya sebentar, kemudian memainkannya sambil menyanyikan Wild Horses dari Rolling Stones...


Childhood living is easy to do
The things you wanted. I bought them for you
Graceless lady you know who I am
You know I can't let you slide through my hands

Wild horses, couldn't drag me away
Wild wild horses, couldn't drag me away


Seorang pria yang juga sedang berada di bar itu mendengarkan William dengan seksama, kemudian ia bangkit dari kursinya dan mendekati William di panggung. Ia mengeluarkan harmonika dari sakunya, dan tanpa berkata apa-apa, hanya memberi isyarat dengan menunjuk harmonika dan menatap William.

William pun hanya menganggukkan kepala, tanpa menghentikan permainannya. Pria itu segera duduk di samping William, dan mengiringi lagu dengan alunan harmonikanya. Mereka berdua terdengar sangat padu, padahal belum saling kenal. Bunyi petikan gitar yang jernih bercampur dengan chord-chord blues dari harmonika pria tersebut...


I know I've dreamed you, a sin and a lie
I have my freedom, but I don't have much time
Faith has been broken, tears must be cried
Let's do some living after we die

Wild horses couldn't drag me away
Wild wild horses, we'll ride them someday...


Lagu pun selesai. William mengangguk kepada pria itu, sebagai isyarat bahwa permainannya cukup bagus. Pria itu tersenyum dan ikut mengangguk. William menyodorkan tangannya untuk bersalaman.



"Mantap juga harmonikamu, kawan. Namaku William, William Criville."



"Casper Lawrence."


1 comment: