Thursday 18 August 2011

THE SONG REMAINS THE SAME

EPISODE 7 : THE SONG REMAINS THE SAME


Aku kurang menikmati reuni ini....



Tapi apa boleh buat, internet di rumah sedang bermasalah, dan pacarku sedang sibuk dengan tugas presentasinya, sehingga dengan berat hati aku terpaksa datang karena gak ada kerjaan. Yah, bukannya aku seorang anti-sosial atau anti-nostalgia, atau karena aku punya pengalaman yang tidak ingin kuingat selama masa kuliah dulu, melainkan ada beberapa alasan kenapa aku benci reuni ini...

Pertama, aku tidak jago mengingat nama dan wajah. Padahal baru 4 tahun sejak kami lulus dari jurusan bisnis administrasi Universitas Northrend. Setiap bertemu orang, aku hanya mengatakan "Hey" atau "Yow", tapi sama sekali tidak ingat namanya. Suasana canggung ini sangat menyebalkan. Hanya beberapa teman dekat yang kukenal, karena selepas kelulusan, kami masih sering hang-out bersama. Sedangkan sisanya hampir seperti orang lain, walaupun dulu kami semua sangat akrab...

Kedua, mereka semua sudah bermetamorfosis menjadi orang dewasa yang membosankan. Topik-topik pembicaraannya ialah seputar gejolak pasar saham, strategi marketing, akuisisi perusahaan, bisnis dan politik, peluang investasi, bla bla bla, dan lain lain... Membosankan. Aku kemari untuk ngobrol santai mengenai game, musik, atau film Jason Statham. Yah, boleh dibilang mungkin hanya aku yang menolak untuk tumbuh dewasa...



Ketiga, aku salah kostum sendirian. Yang lain memakai kemeja, jas, sepatu mengkilap, bahkan dasi. Hanya aku yang memakai kaos bergambar Led Zeppelin, celana cargo, jaket jeans, dan sepatu converse...

Keempat, reuni ini diadakan di sebuah hotel yang rupanya diskriminatif terhadap kendaraan. Tempat parkir motor berada sangat jauh di lapangan samping gedung, dan tidak ada atap. Sedangkan tempat parkir mobil berada dekat dengan pintu masuk. Semoga saja Gladius 400-ku baik-baik saja disana...


DOHC dengan rem ABS


Kelima, bandnya enggak asik. Mereka jago sih, hanya saja pilihan lagunya membosankan. Gak jauh-jauh dari jazz, RnB, atau semacamnya...

Okey, jadi disinilah aku, terjebak dalam acara membosankan. Untung saja aku bukan panitia. Paling setelah beberapa cemilan, beberapa gelas, menyapa beberapa orang, lalu aku cabut dari sini. Demikian rencanaku, sampai seorang yang kelihatan setengah mabuk menghampiriku...

"Heeyy... Donovan? Donovan Winters? Masih ingat aku? Wah... Apa kabar kau sekarang?" Dia menghampiri dan menepuk punggungku. Dari kemeja dan dasinya yang sudah mulai acak-acakan, jumlah gelas kosong di mejanya, cara bicara, serta baunya, aku tahu bahwa dia sudah mabuk berat.

"Yeah, baik. Kau Richard Foster bukan?" Aku sebenarnya malas mengobrol dengan orang ini, tapi apa boleh buat, sekedar basa-basi saja...


Donovan Winters


"Hehe, kau masih ingat... Hey, dimana kau kerja sekarang?" Bau napasnya mulai menggangguku, dan dari jarak segini pula...

"Robertson Logistics." Aku menjawab seperlunya saja, berharap dia cepat bosan.

"Ooh... Hehehe... Umm. kalau nggak salah, kau berhasil jadian sama, siapa itu? Cewek mantep dari teknik industri angkatan 2003? Oh iya, aku ingat namanya... Swann Summers bukan?"

"Ya." Kali ini pertanyaannya mulai annoying. Kalau dia keceplosan bicara yang tidak pantas soal pacarku, berani sumpah bakal kubanting dia ke meja...

"Weddehhh... hehehe... Selamet bro... Bisa juga kau dapet si ketua himpunan galak yang bodinya seksi itu... Gimana rasanya bro?"


....

Lalu Richard Foster membungkuk kesakitan karena abdomennya kupukul, lalu badannya terangkat oleh jurus Full Nelson Slam, dan akhirnya dia mendarat di meja, membelahnya jadi dua...

...

Seluruh ruangan terdiam, termasuk bandnya...

...

Tiba-tiba, salah satu orang berteriak. Aku kurang jelas mendengar apa teriakannya, tapi yang jelas telah mengubah reuni ini menjadi sembilan ribu kali lebih seru...


Seseorang yang mengenakan jas putih dan kemeja garis-garis naik ke atas meja, lalu melakukan jurus Shooting Star Press dan menghantam Richard Foster yang masih terbaring kesakitan. Aku ingat sekarang, yang barusan melompat itu Paul Gillian. Ia juga pernah melakukannya dari atas meja dosen.

Lalu aku melihat seseorang berlari mendekat untuk bergabung dalam aksi, tapi tiba-tiba dari samping, orang lain men-tacklenya dan mengunci kakinya dengan jurus Texas Cloverleaf. Ah, rupanya dia Lucas Toyoda. Itu gerakan khasnya waktu masih jaman kuliah.

Ternyata hanya dengan cara ini aku bisa mengingat kembali nama-nama mereka. Ketika mereka masih berlindung di balik jubah kedewasaan, sulit untuk mengenali. Tapi tidak sekarang....

Dan selanjutnya, hampir semua laki-laki di reuni ini ikut berkelahi secara massal. Ada yang melakukan double team dan membanting orang ke meja. Ada juga yang lompat dari atas kursi dan melakukan Missile Dropkick, tapi meleset dan ditertawakan. Ada yang berusaha mengangkat lawannya yang berbadan besar, namun gagal, sebaliknya malah dia yang di-choke slam dengan mudah. Reuni jurusan ini telah berubah menjadi sebuah Royal Rumble...


Class of 2003


Band di panggung langsung bereaksi dengan mengganti lagunya menjadi The Song Remains The Same oleh Led Zeppelin....

Aku mencermati kondisi sekarang, di saat yang sama sambil meng-counter beberapa orang yang berusaha menjatuhkanku. Wajah mereka semua terlihat lebih gembira dibanding sebelumnya. Seolah-olah mereka juga berharap dari awal bahwa hal ini akan terjadi. Yap, ternyata kami memang tidak sepenuhnya tumbuh dewasa.  Men will be boys... Men will always be boys...

Reuni lebih seru jika seperti ini. Tidak, reuni memang seharusnya seperti ini. Aku menarik kata-kataku tadi mengenai betapa reuni ini membosankan. Ini acara paling mengasyikkan semenjak aku lulus kuliah...

Aku baru saja membanting orang dengan Russian Leg Sweep ketika HP-berdering. Rupanya SMS dari Swann, "Gimana reuninya?"

Kujawab, "Sudah enam orang yang kujatuhkan...." Biar saja Swann jadi bingung, hahaha...

Dibalas lagi, "Reuni apaan tuh? O.O ... BTW ada rapat internal Liga, sekarang. Sini kamu, gak pake lama..."

Akhirnya aku meninggalkan hotel itu dengan perasaaan puas. Sekarang, dimana tadi aku parkir Gladius-ku?



*************************
(Sementara itu...)
*************************



"Namaku William, William Criville..."

"Casper Lawrence..."




Kedua orang itu berkenalan seusai memainkan lagu di panggung cafe. Walaupun belum pernah bertemu, namun permainan gitar dan harmonika mereka berdua sangat kompak. 

Malam itu malam sabtu, namun Burnt Toast Diner cukup sepi pengunjung. Kemajuan jaman membuatnya kalah bersaing dengan kedai kopi, donat, sushi, diskotik, dan lain sebagainya yang mulai menjamur di bagian kota ini.

Selain masih menerapkan konsep cafe old school, ada satu lagi perbedaan Burnt Toast Diner dari tempat-tempat makan lain di daerah ini. Yaitu sejak berdiri hingga sekarang, cafe ini tidak pernah menyetorkan "uang keamanan" kepada mafia lokal. Cafe ini juga tidak pernah menjadi tempat transaksi narkotika. Dengan kata lain, cafe Burnt Toast Diner merupakan satu-satunya tempat makan di wilayah ini yang bebas dari pengaruh kekuasaan mafia... 




Mafia yang menguasai daerah ini berubah-ubah tergantung siapa yang saat itu paling kuat. Mulai dari geng asal Russia yang menguasai daerah ini di era 1970-an, lalu diambil alih oleh kelompok Simoncelli melalui perang berdarah. Kemudian Simoncelli bubar dan digantikan kelompok yakuza keluarga Satsukitane, sampai akhirnya direbut oleh mafia De Angelis. Tapi dari semua era itu, Burnt Toast Diner tidak pernah sekalipun tunduk pada mafia manapun. The song remains the same...

Kini sejak Gregory De Angelis tewas, daerah ini kembali menjadi rebutan oleh kelompok-kelompok kecil. Dan sebentar lagi, hal inilah yang akan membuat ramai kedai makan yang sedari tadi sepi ini...

Tiba-tiba, beberapa orang bertampang sangar merangsek masuk sambil membanting pintu. Ada yang menggebrak-gebrak meja, ada yang memukul-mukulkan pipa besi ke pilar bangunan, ada juga yang langsung duduk dan meletakkan kedua kakinya di meja cafe.

Seseorang berambut mohawk mendekati meja bartender. Bill hanya bereaksi dengan memberikan pandangan ngantuk. 

"Gue denger restoran ini kagak pernah bayar setoran, bro... Bener gitu? Well, sebagai penguasa baru di daerah ini, anggap aja kita punya kebijakan baru...." Si mohawk berkata dengan nada sombong, diikuti dengan tawa dari anak-anak buahnya.

"Butuh bantuan, Bill?" William bertanya sambil meletakkan gitar yang tadi ia mainkan.

"Sebenarnya gak usah, yang kayak gini dari dulu mah udah biasa.... Tapi aku juga tak mau terdengar sombong. Gini aja, kalau aku sampai berdarah, baru kau boleh ikut campur. Okey? Sementara ini biarkan manajemen cafe yang menangani preman-preman ini...." Lalu Bill keluar dari meja bartender sambil mengenakan sarung tangan yang kelihatannya untuk balap motor...



Para preman itu segera menyadari bahwa si bartender ini sama sekali tidak berniat membayar, dan mereka pun segera mengambil posisi untuk mengeroyoknya. Namun, terpengaruh oleh pancaran niat membunuh dari Bill, serta keberaniannya untuk menghadapi delapan orang sendirian, membuat mereka tidak ada yang berani menyerang...

"Kalian nunggu apa? Jam paket attack?", tantang Bill.

Akhirnya Bill tidak sabar dan menyerang duluan. Pria yang paling dekat diberinya jab secepat kilat, dan tak diduga orang itu langsung KO.

Rupanya sarung tangan itu telah dimodifikasi. Bagian knuckle yang seharusnya berisi bantalan peredam benturan, telah diganti dengan serbuk besi, membuat setiap perkenaannya dengan tulang pipi menjadi maknyos...

Si mohawk bereaksi, ia merebut pipa besi dari anak buahnya yang hanya bisa melongo, lalu maju menyerang Bill. Bukannya menghindar, Bill malah meninju pipa besi itu, membuatnya bengkok. Lalu giliran muka si mohawk yang diberi hook kiri. 

Orang berikutnya maju dan mengibas-ngibaskan pisaunya dengan serampangan. Bill melaukan gerakan evasif layaknya Prince Naseem Hameed, lalu menangkap tangan yang memegang pisau, mengangkat badan orang tersebut, lalu melemparnya ke dua orang preman yang lain. Mereka berjatuhan seperti pin bowling.

Lalu penyerang berikutnya maju dan melakukan tendangan putar. Cukup mengagetkan, namun masih terlalu lambat bagi si bartender maut. Bill meninju perutnya, lalu berputar ke belakang dan membantingnya dengan jurus German Suplex.

"Mau sekalian beli CD-nya pak?" Bill mengambil sebuah CD yang biasanya dipakai untuk karaoke cafe, lalu melemparkannya ke muka seorang preman. Kena mata persis, lalu ketika ia sedang memegang mukanya karena kesakitan, Bill menggunakan kesempatan untuk mengirimkan tinju Super Combo ke wajah si preman.

Ah, Bill berdarah!! Mata tajam Criville rupanya melihat garis merah kecil di pipi Bill. Penyerang sebelumnya yang menggunakan pisau ternyata berhasil mengenai Bill, walaupun hanya sedikit. Berarti kini ia boleh ikut beraksi, pikir Criville...

Tepat pada saat seorang preman hendak menyerang Bill dari belakang menggunakan linggis, Criville melakukan tendangan lompat dan mengenai badan orang itu. 

Habis sudah, para penjahat amatir itu terbaring di lantai. Bill melepaskan sarung tangannya, dan mengangguk pada Criville sebagai gesture terima kasih. Lalu ia pergi mengambil sapu...

Sementara itu, Casper Lawrence sudah meninggalkan Burnt Toast Diner. Ia menyalakan sebatang Marcopolo sambil berjalan menuju mobilnya. Ia tersenyum. Tontonan perkelahian barusan sepertinya memberikan dia informasi yang cukup berharga. Kemudian ia masuk mobilnya, dan pergi menjauhi Burnt Toast Diner, sebuah cafe yang tidak pernah tunduk pada mafia, sampai hari ini....






No comments:

Post a Comment